Kalau bicara soal Juventus di Italia, tak ada yang bisa membantah bahwa mereka adalah raja. Scudetto? Sudah lebih dari 30 kali mereka sabet. Dominasi di Serie A? Jangan ditanya, bertahun-tahun mereka memonopoli liga domestik. Tapi begitu keluar dari Italia dan menginjakkan kaki di Liga Champions, tiba-tiba si Nyonya Tua seperti kehilangan taring. Dari sekian banyak partisipasi di kompetisi Eropa, mereka cuma bisa mengangkat trofi Si Kuping Besar dua kali. Dua kali saja!
Untuk klub sebesar Juventus, angka itu sungguh memalukan. Coba bandingkan dengan AC Milan yang sudah mengangkat trofi Liga Champions tujuh kali, atau bahkan Inter Milan yang punya koleksi tiga gelar. Lebih menyakitkannya lagi, Juventus punya jumlah trofi Liga Champions yang sama dengan Nottingham Forest—klub yang sekarang lebih sering mondar-mandir di zona degradasi Liga Inggris. Bayangkan, klub kasta kedua Liga Inggris di era modern ini punya rekor yang setara dengan tim yang katanya "penguasa Italia".
Jadi, apakah wajar kalau Juventus disebut "badut Eropa"? Ya, sangat wajar. Karena setiap kali mereka tampil di Liga Champions, yang terjadi adalah parade kekecewaan. Masuk final? Iya, sering. Tapi lebih sering jadi pecundang. Juventus sudah merasakan kekalahan di final Liga Champions sebanyak tujuh kali! Sebuah rekor yang lebih pantas disebut sebagai spesialis runner-up ketimbang klub elite.
Mungkin ada yang membela: "Tapi kan Juventus tetap langganan Liga Champions!" Iya, tapi langganan tanpa prestasi ya tetap saja percuma. Yang diingat dalam sejarah bukanlah siapa yang paling sering ikut serta, tapi siapa yang paling sering menang. Dan sayangnya, Juventus lebih sering jadi korban di panggung Eropa.
Jadi, sampai kapan Juventus akan terus mempertahankan reputasi sebagai klub raksasa domestik tapi medioker di Eropa? Atau mereka memang sudah nyaman dengan julukan "badut Eropa"? Kita tunggu saja, siapa tahu suatu hari nanti mereka benar-benar bisa membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar penghibur di Liga Champions.
Post a Comment